Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate di angka 5,50% dengan inflasi yang terjaga pada kisaran 2,5% plus minus 2% untuk periode 2025-2026.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa keputusan untuk mempertahankan BI-Rate ini dilakukan demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang sesuai dengan kondisi fundamental, meskipun ketidakpastian global masih tinggi, serta untuk terus mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati ruang penurunan BI-Rate guna mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan tetap mempertahankan inflasi sesuai dengan sasarannya dan stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya,”
kata Perry Warjiyo dalam konferensi pers setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Juni 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Selain mempertahankan BI-Rate di angka 5,5%, RDG BI juga sepakat untuk menjaga suku bunga Deposit Facility di 4,75% dan Lending Facility di 6,25%.
Perry menegaskan bahwa BI terus fokus pada kebijakan makroprudensial yang akomodatif guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan berbagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan kredit dan fleksibilitas pengelolaan likuiditas oleh perbankan.
Kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan memperluas akseptasi pembayaran digital, serta memperkuat infrastruktur dan konsolidasi struktur industri sistem pembayaran.
“Arah bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dalam rangka memperkuat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan tersebut didukung dengan berbagai langkah kebijakan,”
ungkap Perry.
Sementara kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai dengan fundamental juga menjadi perhatian BI, melalui intervensi transaksi Non-Deliverable Forward (NDF) di pasar luar negeri serta transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) di pasar domestik.
“Strategi ini disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar keuangan,”
ujar Perry.
Lebih lanjut, BI juga mengambil langkah untuk memperkuat strategi operasi moneter pro-market agar lebih efektif dalam transmisi penurunan suku bunga, menjaga kecukupan likuiditas, dan mempercepat pendalaman pasar uang serta pasar valuta asing (valas), serta mendorong masuknya modal asing.
Kebijakan tersebut, menurut Perry, dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, dengan mengelola struktur suku bunga instrumen moneter dan swap valas agar transmisi penurunan suku bunga lebih efektif sambil tetap menjaga minat aliran portofolio asing ke aset keuangan dalam negeri.
Kedua, memperkuat strategi lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan pembelian SBN di pasar sekunder untuk memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan.
Ketiga, memperkuat peran dealer utama untuk meningkatkan transaksi SRBI di pasar sekunder dan transaksi repurchase agreement (repo) antar pelaku pasar.
“Bank Indonesia juga melakukan langkah-langkah kebijakan lainnya termasuk penguatan publikasi asesmen transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), hingga perluasan akseptasi digital melalui akselerasi persiapan implementasi QRIS Antarnegara,”
tutur Perry.
BI juga memperpanjang kebijakan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan kebijakan Kartu Kredit (KK) hingga akhir 2025. Tarif SKNBI adalah Rp1 dari BI kepada bank dan maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah.
Sementara itu, kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang KK adalah 5 persen dari total tagihan, dengan nilai denda keterlambatan maksimal 1 persen dari total tagihan serta tidak melebihi Rp100.000.
—












